Menggapai Petunjuk Tuhan
Oleh : A Ilyas Ismail
Secara rohani, petunjuk Tuhan (hidayah) dapat dipandang sebagai pangkal dari semua kebaikan. Manusia tidak mungkin menggapai kebaikan-kebaikan dalam hidupnya tanpa petunjuk dari Allah. Firman-Nya, ''Tuhan kami adalah Allah yang telah memberikan kepada tiap-tiap sesuatu bentuk kepadanya, kemudian memberinya petunjuk.'' (Thaha: 50).
Menurut ulama besar Syekh Muhammad Abduh, petunjuk Allah itu mencakup empat macam, yaitu petunjuk instink atau naluri (hidayat al-wujdan), petunjuk pancaindera (hidayat al-hawas), petunjuk akal pikiran (hidayat al-'aql), dan petunjuk agama (hidayat al-din). Tanpa keempat macam petunjuk di atas, manusia tentu tidak mungkin bisa hidup dan membangun kehidupannya dengan baik di muka bumi. Rasyid Ridha, murid Abduh, menambahkan satu bentuk hidayah yang lain lagi yang dinamakan 'inayah atau ma'unatullah, yaitu pitulung dari Allah SWT. 'Inayah adalah bantuan Allah kepada manusia, sehingga yang bersangkutan mampu mencapai cita-citanya dan mampu membangun kehidupannya dengan baik. Hidayah dalam bentuk ini tidak dapat diberikan oleh siapa pun juga, kecuali oleh Allah SWT sendiri.
Dilihat dari segi tingkatannya, hidayah itu menurut Imam Ghazali ada tiga macam. Pertama, berupa kemampuan mengenal dan membedakan kebaikan dan keburukan. Kemampuan ini sesungguhnya diberikan oleh Allah kepada semua manusia baik melalui kecerdasan intelektualnya maupun melalui informasi dari para Nabi dan Rasul Allah. Kaum Tsamud dan juga kaum 'Ad pada mulanya telah diberikan hidayah oleh Allah dalam bentuk ini, tetapi mereka lebih suka memilih kesesatan daripada petunjuk Tuhan (Fushshilat: 17).
Kedua, berupa peningkatan kualitas hidup manusia yang terus membaik dari waktu ke waktu. Kualitas hidup itu meliputi kualitas iman, kualitas ilmu, dan kualitas kerja. Menurut al-Ghazali, inilah hidayah seperti yang tersebut dalam ayat ini: ''Dan orang-orang yang mendapat petunjuk, Allah menambah petunjuk kepada mereka dan memberikan kepada mereka (balasan) ketakwaannya.'' (Muhammad: 17). Ketiga, berupa pencerahan jiwa atau semacam spiritual enlightenment. Orang yang memperoleh hidayah dalam bentuk ini mencapai tingkat kesempurnaan dan kematangan jiwa (kamalat nafsiyah). Pikiran dan jiwanya menjadi terang, bahkan seluruh hidupnya menjadi terang benderang karena pencahayaan Ilahi yang tidak pernah putus.
Bagi al-Ghazali, inilah tingkatan hidayah dalam bentuknya yang paling tinggi. ''Apakah orang-orang yang dibukakan Allah hatinya untuk menerima agama Islam lalu ia mendapat cahaya dari Tuhannya (sama dengan orang yang hatinya membatu)?'' (Al-Zumar: 22). Hidayah seperti terlihat di atas sungguh penting dan amat menentukan kualitas hidup manusia. Oleh sebab itu, kaum Muslim diperintahkan agar mencari dan menggapai petunjuk Allah itu. Setidak-tidaknya, 17 kali dalam sehari semalam, mereka harus membaca doa ini: ''(Ya Allah), tunjukkan kami ke jalan-(Mu) yang lurus.'' (Al-Fatihah: 6). Tanpa petunjuk-Nya, kita bisa sesat jalan dan terjerembab ke jurang nestapa. Na'udzubillah!
Secara rohani, petunjuk Tuhan (hidayah) dapat dipandang sebagai pangkal dari semua kebaikan. Manusia tidak mungkin menggapai kebaikan-kebaikan dalam hidupnya tanpa petunjuk dari Allah. Firman-Nya, ''Tuhan kami adalah Allah yang telah memberikan kepada tiap-tiap sesuatu bentuk kepadanya, kemudian memberinya petunjuk.'' (Thaha: 50).
Menurut ulama besar Syekh Muhammad Abduh, petunjuk Allah itu mencakup empat macam, yaitu petunjuk instink atau naluri (hidayat al-wujdan), petunjuk pancaindera (hidayat al-hawas), petunjuk akal pikiran (hidayat al-'aql), dan petunjuk agama (hidayat al-din). Tanpa keempat macam petunjuk di atas, manusia tentu tidak mungkin bisa hidup dan membangun kehidupannya dengan baik di muka bumi. Rasyid Ridha, murid Abduh, menambahkan satu bentuk hidayah yang lain lagi yang dinamakan 'inayah atau ma'unatullah, yaitu pitulung dari Allah SWT. 'Inayah adalah bantuan Allah kepada manusia, sehingga yang bersangkutan mampu mencapai cita-citanya dan mampu membangun kehidupannya dengan baik. Hidayah dalam bentuk ini tidak dapat diberikan oleh siapa pun juga, kecuali oleh Allah SWT sendiri.
Dilihat dari segi tingkatannya, hidayah itu menurut Imam Ghazali ada tiga macam. Pertama, berupa kemampuan mengenal dan membedakan kebaikan dan keburukan. Kemampuan ini sesungguhnya diberikan oleh Allah kepada semua manusia baik melalui kecerdasan intelektualnya maupun melalui informasi dari para Nabi dan Rasul Allah. Kaum Tsamud dan juga kaum 'Ad pada mulanya telah diberikan hidayah oleh Allah dalam bentuk ini, tetapi mereka lebih suka memilih kesesatan daripada petunjuk Tuhan (Fushshilat: 17).
Kedua, berupa peningkatan kualitas hidup manusia yang terus membaik dari waktu ke waktu. Kualitas hidup itu meliputi kualitas iman, kualitas ilmu, dan kualitas kerja. Menurut al-Ghazali, inilah hidayah seperti yang tersebut dalam ayat ini: ''Dan orang-orang yang mendapat petunjuk, Allah menambah petunjuk kepada mereka dan memberikan kepada mereka (balasan) ketakwaannya.'' (Muhammad: 17). Ketiga, berupa pencerahan jiwa atau semacam spiritual enlightenment. Orang yang memperoleh hidayah dalam bentuk ini mencapai tingkat kesempurnaan dan kematangan jiwa (kamalat nafsiyah). Pikiran dan jiwanya menjadi terang, bahkan seluruh hidupnya menjadi terang benderang karena pencahayaan Ilahi yang tidak pernah putus.
Bagi al-Ghazali, inilah tingkatan hidayah dalam bentuknya yang paling tinggi. ''Apakah orang-orang yang dibukakan Allah hatinya untuk menerima agama Islam lalu ia mendapat cahaya dari Tuhannya (sama dengan orang yang hatinya membatu)?'' (Al-Zumar: 22). Hidayah seperti terlihat di atas sungguh penting dan amat menentukan kualitas hidup manusia. Oleh sebab itu, kaum Muslim diperintahkan agar mencari dan menggapai petunjuk Allah itu. Setidak-tidaknya, 17 kali dalam sehari semalam, mereka harus membaca doa ini: ''(Ya Allah), tunjukkan kami ke jalan-(Mu) yang lurus.'' (Al-Fatihah: 6). Tanpa petunjuk-Nya, kita bisa sesat jalan dan terjerembab ke jurang nestapa. Na'udzubillah!