Shalat : Waktu Untuk Berhenti Sejenak
Oleh : Akmal Sjafril
Assalaamu’alaikum wr. wb.
Sering terdengar alasan bahwa kaum profesional tidak lagi memiliki cukup waktu luang sehingga ibadahnya banyak dikorbankan. Mereka tidak punya energi untuk bangun malam dan melaksanakan qiyamullail. Waktu produktifnya tidak mungkin dikorbankan untuk shalat Dhuha. Hal terbaik yang bisa mereka lakukan adalah menyisihkan waktu 5 menit untuk masing-masing shalat fardhu, itu pun sudah termasuk waktu wudhu-nya!
Non-sense!
Hal yang sebaliknya terjadi pada saya. Setelah kerja, justru saya semakin merasa perlu mengatur ibadah. Ibadah itu seharusnya tuma’ninah, alias dikerjakan dengan tenang, tidak terburu-buru, apalagi terbirit-birit. Betapa tidak sopannya manusia yang menghadap Allah dengan bacaan seperti lagu-lagu rap atau hip-hop. Mereka bahkan tidak sempat meresapi makna kata-kata yang keluar dari lidahnya. Sama seperti orang yang minta ijin meminjam barang kita, tapi permohonan ijin itu disampaikannya setelah ia selesai menggunakan barang tersebut. Kata-katanya cuma pemanis belaka. Basa-basi. Kalau kita tahu yang mana yang basa-basi dan yang mana yang sungguhan, maka Allah pasti lebih tahu. Adakah manfaat dari ibadah yang terburu-buru?
Setelah merasakan beratnya beban kerja, saya justru merasa harus meluangkan waktu khusus untuk ibadah-ibadah harian. Kalau dulu saya melaksanakannya karena memang banyak waktu, sekarang saya harus mengalokasikan waktu-waktu tertentu secara khusus.
Shalat lima waktu tidak bisa ditawar-tawar lagi. Kalau dulu saya sering shalat di akhir waktu, sekarang kebiasaan itu sudah semakin sering saya tinggalkan. Saya semakin sadar bahwa jadwal shalat memang benar-benar dirancang Allah untuk sesuai dengan jam biologis manusia. Benar-benar pas! Ketika adzan dikumandangkan, tubuh dan pikiran saya memang berada di titik jenuh. Pada jam-jam itu memang saya butuh waktu untuk berhenti sejenak. Ini sama sekali bukan berarti produktifitas kerja terganggu, karena setelah shalat, kondisi tubuh kembali prima sehingga kerja menjadi semakin efektif.
Manusia memang benar-benar butuh shalat. Shalat (ternyata) bukanlah sebuah kewajiban yang Allah berikan sekedar untuk menunjukkan besar kekuasaan-Nya. Shalat adalah salah satu bukti kasih sayang Allah pada manusia. Allah-lah yang merancang tubuh manusia dalam bentuk yang sangat sempurna. Bukankah sangat logis jika Allah pula yang telah merancang tata cara dan waktu shalat sehingga sesuai dengan jam biologis manusia? Adakah yang aneh dalam teori ini?
Dalam keadaan lelah karena kerja, air yang membasahi wajah, tangan, daun telinga, sebagian rambut dan kaki adalah kesegaran yang luar biasa. Gerakan-gerakan shalat benar-benar didesain khusus untuk meregangkan otot-otot yang kaku karena lelah bekerja. Dialog dengan Allah pada saat shalat pun benar-benar menjadi obat yang paling manjur untuk mengobati kelesuan mental manusia. Adakah yang lebih dibutuhkan oleh kaum profesional selain waktu-waktu untuk shalat?
Belasan tahun yang lalu saya sudah mengenal ungkapan : “Jadikanlah shalat sebagai kebutuhan, bukan sekedar kewajiban.” Easy to say, but not so easy to understand. Ternyata salah satu variabel penentunya kerja keras. Orang-orang yang tidak pernah kerja keras memeras otak membanting tulang tentu saja tidak bisa mengenali dengan baik jam biologisnya. Mereka tidak pernah memaksa tubuhnya hingga mendekati batas, sehingga tidak pernah tahu bagaimana cara memaksimalkan fungsi tubuh. Mereka terbiasa dengan hidup angin-anginan. Bagaimana mungkin mereka bisa menghayati nikmatnya shalat?
Sungguh licin strategi para pengikut Iblis. Mereka berhasil mencari korelasi yang jelas antara dedikasi pada pekerjaan dengan shalat. Dengan menghancurkan etos kerja, mereka membuat umat menjadi lupa dengan kenikmatan melaksanakan shalat. Sekarang, semua orang berlomba-lomba melakukan korupsi. Pekerjaan yang seharusnya bisa selesai dalam sehari sengaja mereka selesaikan dalam dua-tiga hari, agar beban kerja semakin berkurang, dan mereka pun semakin santai. Wajar bila mereka tidak pernah merasakan kebutuhan akan shalat.
Tentu saja esensi shalat bukanlah untuk memperbaiki kondisi tubuh. Esensi shalat – dan semua ibadah secara umum – adalah sebagai bukti penghambaan kepada Allah SWT. Mereka yang menolak beribadah tentu saja tidak punya hak untuk mengaku sebagai hamba Allah. Penghambaan kepada-Nya adalah suatu hal yang mutlak dan tak dapat ditawar-tawar lagi. Inilah motivasi kita dalam beribadah.
Akan tetapi, sekarang ini, ijinkanlah saya untuk tersenyum dan berkata : “Allah sengaja menciptakan shalat untuk kebaikan saya. Begitu sayangnya Allah pada saya!”
Wassalaamu’alaikum wr. wb.
Nice articel.... :)
» Post a Comment