Beragama Itu Asyik, Sobat!
Nietzsche, seorang psikolog Jerman pernah menggegerkan dunia dengan pernyataannya, “Gott ist gestorben” alias “Tuhan sudah mati!”. Walah, nekat bang-et tuh orang ya? Jangan kaget dulu sobat, sebab para penulis biografi Neitzsche sepakat bahwa pemikirannya sangat berkaitan dengan psikologinya yang aneh dan kompleks. Berbahaya!
Nietzsche sendiri pernah ngomong gini, “Perlahan-lahan menjadi jelas bagiku apa yang terjadi pada setiap filsafat besar; ia adalah pengakuan pribadi dari filosofnya dan sejenis kenang-kenangan yang lahir tidak sengaja dan tidak sadar... Sebaliknya, pada diri filosof, tidak ada apa pun yang bersifat impersonal (tidak mengenai orang tertentu, red.); dan lebih dari itu, semua moralitasnya menjadi saksi yang tidak terbantahkan tentang siapa dia .”
Dengan nada yang sama, Nietzsche mengaku, “Saya betul-betul mengetahui ateisme bukan sebagai akibat pemikiran, apalagi sebagai peristiwa; bagiku, ateisme menjadi jelas karena naluri. (Jalaluddin Rakhmat, Psikologi Agama, hlm. 144-145)
Sobat muda muslim, tentu aja pernyataan psikolog yang lahir di Saxoni, Prusia (Jerman) pada 15 Oktober 1844 itu selain bikin geger semua orang, juga sebagai bukti kelemahan doi sebagai manusia biasa. Nietzshce emang nekat. Ini kian menunjukkan bahwa akal manusia serba terbatas untuk memahami sang pencipta. Itu sebabnya butuh bimbingan dan aturan yang bisa menghantarkannya kepada penyembahan yang jelas.
Nietzsche nggak sendirian, masih ada Sigmund Freud yang menawarkan theory of unbelief alias teori kekafiran. Freud menulis dalam The Future of an Illusion : “Gagasan-gagasan agama muncul dari kebutuhan yang sama seperti yang memunculkan pencapaian peradaban lainnya, yakni dari desakan untuk mempertahankan diri melawan kekuatan alam yang lebih perkasa dan menaklukkan… (kepercayaan agama hanyalah) ilusi, pemuasan dari keinginan manusia yang paling tua, dan paling penting… Seperti kita ketahui, kesan tak berdaya yang menakutkan pada masa kanak-kanak membangkitkan kebutuhan akan perlindungan—perlindungan melalui cinta yang diberikan oleh sang bapak… Jadi, peraturan Tuhan yang Mahakuasa dan Mahapengasih menentramkan ketakutan kita akan bahaya kehidupan” (Freud, 1961: 30)
Oke deh, dua orang psikolog ini cukup memberikan informasi kepada kita bahwa mereka antiagama alias menolak keberadaan pencipta alam semesta dan semua isinya ini. Nietzsche yang berteriak “Tuhan sudah mati!” dan Freud yang bilang, “Agama hanyalah ilusi”, jelas udah melecehkan keyakinan seseorang akan agamanya dan sekaligus kepada penciptanya.
Sobat muda muslim, dalam kehidupan kapitalisme yang serba bebas seperti sekarang, kita khawatir banget ide kebebasan beragama dan kebebasan berpendapat (yang terangkum dalam HAM) menjadi senjata manusia untuk menyingkirkan agama dan ‘membunuh' Tuhan. Ciloko kalo sampe kejadian!
Sayangnya, kenyataan di lapangan udah bisa menjadi bukti bahwa manusia udah me-nyingkirkan agama dan sangat boleh jadi melecehkan Allah. Pengen bukti? Meski banyak di antara mereka yang mengaku dengan tegas bahwa mereka bukan kaum ateis, tapi perbuatannya jelas-jelas melecehkan agama dan sang pencipta. Misalnya aja, mereka nggak taat dengan ajaran agama, agama sebatas status aja, isinya sih ogah diamalkan. Walah?
Itu kan artinya sama aja bahwa yang membuat aturan agama nggak dianggep. Duile, apa nggak salah tuh berbuat? Macam mana pula dikau? Itu sebabnya, meski mereka ogah disebut ateis, tapi kelakuannya mirip para ateis, karena agama cuma dijadikan sebagai status biar diakui kelompok tertentu. Gaswat!
Beragama adalah fitrah
Eh, manusia tuh memiliki potensi kehidupan lho. Kayak apa sih? Sebetulnya sama aja dengan hewan, yakni kebutuhan jasmani dan naluri. Nah, yang membedakannya dengan hewan, Allah memberikan akal buat manusia.
Oya, seperti halnya kebutuhan jasmani, naluri juga memerlukan pemenuhan lho. Nah, termasuk naluri beragama (gharizatu at-tadayyun) ini. Baik manusia maupun makhluk Allah yang lainnya memiliki naluri ini, dan tentunya kudu ada pemenuhannya yang benar. Firman Allah Swt:
“Dan tak ada suatu pun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka.” (QS al-Isra [17]: 44)
Dalam ayat lain Allah menjelaskan:
“Tidakkah kamu tahu bahwasanya Allah: kepada-Nya bertasbih apa yang di langit dan di bumi dan (juga) burung dengan mengembangkan sayapnya.” (QS an-Nuur [24]: 41)
Sobat muda muslim, pengertian ‘tasbih' ini sebagai bentuk naluri beragama, yakni mensucikan sesuatu yang diyakini, bahwa Dialah Sang Pencipta. Oya, pensucian ini adakalanya ditampakkan dengan bentuk ibadah, kadang juga cuma sebatas penghormatan atau kekaguman aja (ini minimal banget lho).
Perasaan lemah, kurang, dan kerdil manusia di hadapan zat Yang Maha Agung, yang membuat manusia kemudian mengagung-kanNya dalam ibadah. Eh, sebenarnya nggak cuma dalam ibadah lho perasaan seperti ini. Bergama itu fitrah. Itu sebabnya, di luar ibadah pun manusia tetep memerlukan agama yang sesuai dengan fitrah-nya yang lemah, kurang, dan tentunya memerlukan banget zat Yang Maha Agung .
Maka, nggak salah dong kalo kemudian manusia akan mencari agama yang sesuai dengan fitrah-nya, yakni agama yang diturunkan oleh zat Yang Maha Agung, Dialah, Allah Swt. Jadi jelas, inilah alasan rasional bahwa manu-sia membutuhkan agama dan membutuhkan agama dari Allah Swt dan bukannya dari yang lain. Catet, Brur!
Nah, dengan demikian, kalo ada orang yang masih nekatz nggak membutuhkan agama dengan alasan agama adalah candu dan cuma hayalan aja, maka jelas tuh orang lagi ngigo, bukannya mikir. Tul nggak? Itu sebabnya, para penulis biografi Nietzsche menganggap Nietzsche lagi nggak nyadar ngomong begitu.
Lagian kita bisa jelaskan bahwa manusia sebetulnya emang butuh pemenuhan naluri beragama (dalam hal ini mensucikan sesuatu). Cuma memang naluri ini bisa dimanipulasi. Buktinya, orang ateis di Soviet jaman baheula mereka memang nggak percaya Tuhan, tapi mereka percaya dan hormat ama para pahlawan mereka (bahkan mensucikannya lho). Yup, inilah akibat nggak dituntun ama agama yang benar. Nah, itu artinya naluri emang nggak bisa dihilangkan, sampai kapan pun. Tapi bisa dialihkan saja.
Jadi ateis? Amit-amit!
Orang yang ateis itu sebenarnya udah menipu diri mereka sendiri. Memanipulasi naluri mereka untuk mensucikan sesuatu dan mendorongnya untuk tidak mengakui adanya sang pencipta. Mereka mengalihkan ‘penghormatan' atas ketidak-berdayaannya kepada sesuatu yang lebih riil dalam pandangan mereka. Bukan sesuatu yang gaib yang nggak bisa mereka lihat.
Ini artinya bertolak-belakang dengan kondisi manusia itu sendiri yang emang lemah, tapi mereka nggak mau mengakui kelemahan-nya. Buktinya nggak rela kalo mensucikan sesuatu yang nggak bisa mereka rasakan dan lihat. Padahal seharusnya kelemahannya ini menjadikan mereka meyakini sesuatu yang Maha Agung dan Maha Kuasa yang tentunya berbeda banget dengan makhlukNya, yang salah satu kelebihanNya nggak bisa dilihat oleh mereka. Aneh bin ajaib kan?
BTW, kenapa para ilmuwan banyak yang menjadi ateis ya? Ehm, kamu masih ingat kasus tewasnya Galileo Galilei? Yup, karena ilmuwan yang atu ini menyatakan perbedaan pendapat-nya dengan para rohaniwan gereja yang keukeuh meyakini bahwa bumi adalah pusat tatasurya. Tapi Galileo mengatakan, mataharilah pusat tatasurya, terutama setelah ia yakini dengan pasti ketika berhasil membuat teleskop. Hasilnya, Galileo tewas dibakar dan dianggap pernyataannya yang kontroversial itu sebagai bentuk pembangkangan atas ‘fatwa' gereja yang udah disepakati itu.
Setelah itu, ribuan ilmuwan Barat, terutama di Perancis berbondong-bondong ninggalin agama mereka. Mereka menjadi ateis. Celaka dua belas tuh!
Banyak lho, di sini juga yang begitu. Kaum muslimin yang kritis tapi lemah iman dan ilmu, mereka cepat nggak puas dengan ajaran Islam yang dinilainya nggak bisa mengubah kondisi masyarakat. Kebetulan yang dilihatnya dari Islam sebatas ibadah ritual belaka.
Mereka mikir, bahwa wirid dan sekadar baca “yasinan” dan melakukan “tahlilan” nggak bakalan ngubah kondisi masyarakat yang terus meluncur masuk jurang kerusakan di berbagai bidang. Ujungnya, meski sebagian masih ada yang mengenakan stempel muslim, tapi mereka udah memilih menjadi pengikut sosialisme komunisme. Bahkan yang mengagetkan, banyak mahasiswa muslim di negeri ini bangga menjadi bagain dari kaum “Marx”: “I am Marxis!” Naudzubillahi min dzalik!
Sobat muda muslim, jangan sampe agama sekadar jadi status aja. Tapi sebaliknya, agama kudu kita jadikan sebagai pandangan hidup. Kita wajib menjadi pejuang dan pembela untuknya. Ya, layaknya yang udah jatuh cinta, kita kudu mengorbankan diri kita, sepenuh hati kita. Oke deh, buang jauh-jauh semua pikiran yang nggak bener dalam benak kita. Jadi kalo ada yang masih bangga dengan paham ateis, mending ke laut aja deh! Tul nggak?
Bersama Islam, kita bahagia
Allah udah menjanjikan dalam ayatNya:
“Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam.” (QS ali Imran [3]: 19)
Tuh kan, jelas bahwa cuma agama Islam yang dirodhoi sama Allah. Itu sebabnya, kita kudu bangga en pede jadi muslim. Jangan pernah pindah ke lain akidah deh. Cukup kita yakini Islam sebagai pandangan hidup kita. Harus itu!
Itu sebabnya, dalam ayat lain Allah menjelaskan dalam firmanNya:
“Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (QS ali Imran [3]: 85)
Wah rugi tuh orang yang nggak menjadikan Islam sebagai agamanya. Apalagi jadi ateis. Kagak pake dah! Jadi jelas lho, beragama itu, dan yang pasti beragama Islam, adalah sebuah pemenuhan yang rasional. Kita nggak bisa lagi berlindung di balik alasan apa pun untuk menyingkirkan Islam dari kehidupan kita.
Sebaliknya, kita kudu menjadikan Islam sebagai pandangan hidup kita. Sebagai ideologi! Mulai sekarang, buang jauh-jauh ide segala yang bisa meracuni pemikiran kita. Jangan mau deh berga-bung dengan orang yang antiagama, apalagi yang ateis. Kita sudah cukup merasakan bahwa beragama (Islam) itu emang asyik dan tentunya sesuai fitrah.
Oya, biar kita tetep oke, mari kita juga berjuang untuk menegakkan dan menerapkan Islam sebagai ideologi negara. Tul nggak? Tetep semangat ye! (dudung.net)
Nietzsche sendiri pernah ngomong gini, “Perlahan-lahan menjadi jelas bagiku apa yang terjadi pada setiap filsafat besar; ia adalah pengakuan pribadi dari filosofnya dan sejenis kenang-kenangan yang lahir tidak sengaja dan tidak sadar... Sebaliknya, pada diri filosof, tidak ada apa pun yang bersifat impersonal (tidak mengenai orang tertentu, red.); dan lebih dari itu, semua moralitasnya menjadi saksi yang tidak terbantahkan tentang siapa dia .”
Dengan nada yang sama, Nietzsche mengaku, “Saya betul-betul mengetahui ateisme bukan sebagai akibat pemikiran, apalagi sebagai peristiwa; bagiku, ateisme menjadi jelas karena naluri. (Jalaluddin Rakhmat, Psikologi Agama, hlm. 144-145)
Sobat muda muslim, tentu aja pernyataan psikolog yang lahir di Saxoni, Prusia (Jerman) pada 15 Oktober 1844 itu selain bikin geger semua orang, juga sebagai bukti kelemahan doi sebagai manusia biasa. Nietzshce emang nekat. Ini kian menunjukkan bahwa akal manusia serba terbatas untuk memahami sang pencipta. Itu sebabnya butuh bimbingan dan aturan yang bisa menghantarkannya kepada penyembahan yang jelas.
Nietzsche nggak sendirian, masih ada Sigmund Freud yang menawarkan theory of unbelief alias teori kekafiran. Freud menulis dalam The Future of an Illusion : “Gagasan-gagasan agama muncul dari kebutuhan yang sama seperti yang memunculkan pencapaian peradaban lainnya, yakni dari desakan untuk mempertahankan diri melawan kekuatan alam yang lebih perkasa dan menaklukkan… (kepercayaan agama hanyalah) ilusi, pemuasan dari keinginan manusia yang paling tua, dan paling penting… Seperti kita ketahui, kesan tak berdaya yang menakutkan pada masa kanak-kanak membangkitkan kebutuhan akan perlindungan—perlindungan melalui cinta yang diberikan oleh sang bapak… Jadi, peraturan Tuhan yang Mahakuasa dan Mahapengasih menentramkan ketakutan kita akan bahaya kehidupan” (Freud, 1961: 30)
Oke deh, dua orang psikolog ini cukup memberikan informasi kepada kita bahwa mereka antiagama alias menolak keberadaan pencipta alam semesta dan semua isinya ini. Nietzsche yang berteriak “Tuhan sudah mati!” dan Freud yang bilang, “Agama hanyalah ilusi”, jelas udah melecehkan keyakinan seseorang akan agamanya dan sekaligus kepada penciptanya.
Sobat muda muslim, dalam kehidupan kapitalisme yang serba bebas seperti sekarang, kita khawatir banget ide kebebasan beragama dan kebebasan berpendapat (yang terangkum dalam HAM) menjadi senjata manusia untuk menyingkirkan agama dan ‘membunuh' Tuhan. Ciloko kalo sampe kejadian!
Sayangnya, kenyataan di lapangan udah bisa menjadi bukti bahwa manusia udah me-nyingkirkan agama dan sangat boleh jadi melecehkan Allah. Pengen bukti? Meski banyak di antara mereka yang mengaku dengan tegas bahwa mereka bukan kaum ateis, tapi perbuatannya jelas-jelas melecehkan agama dan sang pencipta. Misalnya aja, mereka nggak taat dengan ajaran agama, agama sebatas status aja, isinya sih ogah diamalkan. Walah?
Itu kan artinya sama aja bahwa yang membuat aturan agama nggak dianggep. Duile, apa nggak salah tuh berbuat? Macam mana pula dikau? Itu sebabnya, meski mereka ogah disebut ateis, tapi kelakuannya mirip para ateis, karena agama cuma dijadikan sebagai status biar diakui kelompok tertentu. Gaswat!
Beragama adalah fitrah
Eh, manusia tuh memiliki potensi kehidupan lho. Kayak apa sih? Sebetulnya sama aja dengan hewan, yakni kebutuhan jasmani dan naluri. Nah, yang membedakannya dengan hewan, Allah memberikan akal buat manusia.
Oya, seperti halnya kebutuhan jasmani, naluri juga memerlukan pemenuhan lho. Nah, termasuk naluri beragama (gharizatu at-tadayyun) ini. Baik manusia maupun makhluk Allah yang lainnya memiliki naluri ini, dan tentunya kudu ada pemenuhannya yang benar. Firman Allah Swt:
“Dan tak ada suatu pun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka.” (QS al-Isra [17]: 44)
Dalam ayat lain Allah menjelaskan:
“Tidakkah kamu tahu bahwasanya Allah: kepada-Nya bertasbih apa yang di langit dan di bumi dan (juga) burung dengan mengembangkan sayapnya.” (QS an-Nuur [24]: 41)
Sobat muda muslim, pengertian ‘tasbih' ini sebagai bentuk naluri beragama, yakni mensucikan sesuatu yang diyakini, bahwa Dialah Sang Pencipta. Oya, pensucian ini adakalanya ditampakkan dengan bentuk ibadah, kadang juga cuma sebatas penghormatan atau kekaguman aja (ini minimal banget lho).
Perasaan lemah, kurang, dan kerdil manusia di hadapan zat Yang Maha Agung, yang membuat manusia kemudian mengagung-kanNya dalam ibadah. Eh, sebenarnya nggak cuma dalam ibadah lho perasaan seperti ini. Bergama itu fitrah. Itu sebabnya, di luar ibadah pun manusia tetep memerlukan agama yang sesuai dengan fitrah-nya yang lemah, kurang, dan tentunya memerlukan banget zat Yang Maha Agung .
Maka, nggak salah dong kalo kemudian manusia akan mencari agama yang sesuai dengan fitrah-nya, yakni agama yang diturunkan oleh zat Yang Maha Agung, Dialah, Allah Swt. Jadi jelas, inilah alasan rasional bahwa manu-sia membutuhkan agama dan membutuhkan agama dari Allah Swt dan bukannya dari yang lain. Catet, Brur!
Nah, dengan demikian, kalo ada orang yang masih nekatz nggak membutuhkan agama dengan alasan agama adalah candu dan cuma hayalan aja, maka jelas tuh orang lagi ngigo, bukannya mikir. Tul nggak? Itu sebabnya, para penulis biografi Nietzsche menganggap Nietzsche lagi nggak nyadar ngomong begitu.
Lagian kita bisa jelaskan bahwa manusia sebetulnya emang butuh pemenuhan naluri beragama (dalam hal ini mensucikan sesuatu). Cuma memang naluri ini bisa dimanipulasi. Buktinya, orang ateis di Soviet jaman baheula mereka memang nggak percaya Tuhan, tapi mereka percaya dan hormat ama para pahlawan mereka (bahkan mensucikannya lho). Yup, inilah akibat nggak dituntun ama agama yang benar. Nah, itu artinya naluri emang nggak bisa dihilangkan, sampai kapan pun. Tapi bisa dialihkan saja.
Jadi ateis? Amit-amit!
Orang yang ateis itu sebenarnya udah menipu diri mereka sendiri. Memanipulasi naluri mereka untuk mensucikan sesuatu dan mendorongnya untuk tidak mengakui adanya sang pencipta. Mereka mengalihkan ‘penghormatan' atas ketidak-berdayaannya kepada sesuatu yang lebih riil dalam pandangan mereka. Bukan sesuatu yang gaib yang nggak bisa mereka lihat.
Ini artinya bertolak-belakang dengan kondisi manusia itu sendiri yang emang lemah, tapi mereka nggak mau mengakui kelemahan-nya. Buktinya nggak rela kalo mensucikan sesuatu yang nggak bisa mereka rasakan dan lihat. Padahal seharusnya kelemahannya ini menjadikan mereka meyakini sesuatu yang Maha Agung dan Maha Kuasa yang tentunya berbeda banget dengan makhlukNya, yang salah satu kelebihanNya nggak bisa dilihat oleh mereka. Aneh bin ajaib kan?
BTW, kenapa para ilmuwan banyak yang menjadi ateis ya? Ehm, kamu masih ingat kasus tewasnya Galileo Galilei? Yup, karena ilmuwan yang atu ini menyatakan perbedaan pendapat-nya dengan para rohaniwan gereja yang keukeuh meyakini bahwa bumi adalah pusat tatasurya. Tapi Galileo mengatakan, mataharilah pusat tatasurya, terutama setelah ia yakini dengan pasti ketika berhasil membuat teleskop. Hasilnya, Galileo tewas dibakar dan dianggap pernyataannya yang kontroversial itu sebagai bentuk pembangkangan atas ‘fatwa' gereja yang udah disepakati itu.
Setelah itu, ribuan ilmuwan Barat, terutama di Perancis berbondong-bondong ninggalin agama mereka. Mereka menjadi ateis. Celaka dua belas tuh!
Banyak lho, di sini juga yang begitu. Kaum muslimin yang kritis tapi lemah iman dan ilmu, mereka cepat nggak puas dengan ajaran Islam yang dinilainya nggak bisa mengubah kondisi masyarakat. Kebetulan yang dilihatnya dari Islam sebatas ibadah ritual belaka.
Mereka mikir, bahwa wirid dan sekadar baca “yasinan” dan melakukan “tahlilan” nggak bakalan ngubah kondisi masyarakat yang terus meluncur masuk jurang kerusakan di berbagai bidang. Ujungnya, meski sebagian masih ada yang mengenakan stempel muslim, tapi mereka udah memilih menjadi pengikut sosialisme komunisme. Bahkan yang mengagetkan, banyak mahasiswa muslim di negeri ini bangga menjadi bagain dari kaum “Marx”: “I am Marxis!” Naudzubillahi min dzalik!
Sobat muda muslim, jangan sampe agama sekadar jadi status aja. Tapi sebaliknya, agama kudu kita jadikan sebagai pandangan hidup. Kita wajib menjadi pejuang dan pembela untuknya. Ya, layaknya yang udah jatuh cinta, kita kudu mengorbankan diri kita, sepenuh hati kita. Oke deh, buang jauh-jauh semua pikiran yang nggak bener dalam benak kita. Jadi kalo ada yang masih bangga dengan paham ateis, mending ke laut aja deh! Tul nggak?
Bersama Islam, kita bahagia
Allah udah menjanjikan dalam ayatNya:
“Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam.” (QS ali Imran [3]: 19)
Tuh kan, jelas bahwa cuma agama Islam yang dirodhoi sama Allah. Itu sebabnya, kita kudu bangga en pede jadi muslim. Jangan pernah pindah ke lain akidah deh. Cukup kita yakini Islam sebagai pandangan hidup kita. Harus itu!
Itu sebabnya, dalam ayat lain Allah menjelaskan dalam firmanNya:
“Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (QS ali Imran [3]: 85)
Wah rugi tuh orang yang nggak menjadikan Islam sebagai agamanya. Apalagi jadi ateis. Kagak pake dah! Jadi jelas lho, beragama itu, dan yang pasti beragama Islam, adalah sebuah pemenuhan yang rasional. Kita nggak bisa lagi berlindung di balik alasan apa pun untuk menyingkirkan Islam dari kehidupan kita.
Sebaliknya, kita kudu menjadikan Islam sebagai pandangan hidup kita. Sebagai ideologi! Mulai sekarang, buang jauh-jauh ide segala yang bisa meracuni pemikiran kita. Jangan mau deh berga-bung dengan orang yang antiagama, apalagi yang ateis. Kita sudah cukup merasakan bahwa beragama (Islam) itu emang asyik dan tentunya sesuai fitrah.
Oya, biar kita tetep oke, mari kita juga berjuang untuk menegakkan dan menerapkan Islam sebagai ideologi negara. Tul nggak? Tetep semangat ye! (dudung.net)
Very good article..
I'm very impressed...Thanx
» Post a Comment