<body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://www.blogger.com/navbar.g?targetBlogID\x3d11776877\x26blogName\x3dYoung+Muslims+Indonesia\x26publishMode\x3dPUBLISH_MODE_BLOGSPOT\x26navbarType\x3dBLUE\x26layoutType\x3dCLASSIC\x26searchRoot\x3dhttps://youngmuslimsindo.blogspot.com/search\x26blogLocale\x3den_US\x26v\x3d2\x26homepageUrl\x3dhttp://youngmuslimsindo.blogspot.com/\x26vt\x3d-4458987010061084945', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe", messageHandlersFilter: gapi.iframes.CROSS_ORIGIN_IFRAMES_FILTER, messageHandlers: { 'blogger-ping': function() {} } }); } }); </script>

Young Muslims Indonesia

Barangsiapa yang menempuh jalan yang menuju ke pengetahuan,
Allah akan memudahkan baginya jalan ke surga,
dan para malaikat mengembangkan sayapnya karena senang pada orang yang mengincar ilmu,
serta seluruh penghuni surga dan bumi bahkan ikan di kedalaman lautan, memohon ampunan untuknya

[HR. Ibnu Hanbal 196]

Catatan Akhir Ramadhan....

30 October, 2005
Ya Allah, betapa kami tak bisa berbuat lebih banyak di ramadhan ini. Betapa kami hanya mampu untuk mereguk nikmat, mereguk senang, tanpa bisa sedikit pun berikan yang terbaik untukMu. Di bulan ini kami lebih banyak meminta ketimbang mengerjakan seruanMu. Ramadhan bagi sebagian dari kami, tak ubahnya sebuah pesta. Ramadhan bagi segolongan dari kami, sekadar ekstravaganza ibadah. Nyaris hanya secuil yang bisa kami maknai kemuliaannya.

Ya Allah, kami ingin mengadu kepadaMu. Meski kami malu karena selalu memalingkan wajah dari perintahMu. Kami mencoba meng-hempaskan beban yang kami derita. Kami ber-upaya untuk membuang semua penat di jiwa kami. Di akhir ramadhan ini kami cuma bisa mengeluh. Bahkan adakalanya keluhan itu bersumber dari kebodohan kami yang buta atas titahMu. Sepertinya kami tak pantas berbagi dengan-Mu. Terlalu banyak persoalan yang sebenarnya bersumber dari kesombongan kami, kejahilan kami, dan dari bebalnya kami.

Ya Allah, ijinkan kami untuk bersimpuh di hadapan-Mu. Melunturkan dosa dan memu-darkan penyakit yang berkarat di hati. Meski kami malu membeberkan luka-luka ini. Karena luka yang kami miliki, juga akibat kami tak mampu memenuhi syariatMu. Kami merasa berada di dalam sebuah lorong yang gelap, dingin, sepi dan sunyi. Hati kami terasa kering, meski setiap hari dibasuh dengan kalimat-kalimatMu yang sejuk. Jiwa kami berdebu, meski setiap detik disapu firmanMu. Ramadhan bagi kami, ternyata hanya menyisakan luka, perih, dan sepi.

Sebagian dari kami tak bisa memanfaatkan kesempatan di bulan suci ini. Kami lebih suka menjadikannya sebagai sarana memupuk popularitas dan kekayaan. Kami pilu, ketika sebagian dari kami, umat Nabi Muhammad saw. ini, lebih menikmati ramadhan dengan gemerlap di layar kaca.

Mereka menutupi wajahnya dengan topeng. Bahkan berani menipu kami. Memen-jarakan kami ke ruang gelap sebuah kenistaan. Itu sebabnya, hari-hari kami sepanjang ramadhan ini, lebih banyak dihabiskan untuk menemani mereka di layar kaca membawakan program-program spesial ramadhan yang dikemas amat menghibur.

Di akhir ramadhan ini, luluskanlah permintaan kami untuk menyampaikan sesuatu, meski apa yang akan kami sampaikan Engkau pasti sudah mengetahuinya. Kami mencoba meraih sisa-sisa kekuatan kami yang nyaris musnah ditelan kesombongan kami.

Akhir ramadhan yang membosankan kami. Mungkin sebagian dari kami merasa memiliki sesuatu yang berharga untuk menjadi bekal setelah ramadhan. Tapi sebagian lagi dari kami, hanya membawa beban di akhir ramadhan ini.

Engkau pasti tahu, bahwa sebagian besar dari kami selalu tidak ajeg untuk meniti hidup pasca ramadhan. Ramadhan ternyata tidak membuahkan takwa, ramadhan hanya berlalu dan diisi dengan kekosongan.

Ya Allah, pertengahan Ramadhan ini, beberapa selebritis di negeri ini protes kepada sebagian dari kami yang mencoba mengingatkan mereka. Mereka tak rela kehidupannya diusik. Mereka marah besar atas imbauan sebagian dari kami yang menyebutkan mereka cuma islam sesaat. Ya, di bulan raamdhan ini..

Mungkin mereka malu. Bahwa selama ini aktivitasnya memang membuat noda di ramadhan. Tapi kami yakin, sebagian besar dari kami kini sudah cukup merasa paham untuk bersikap. Namun, hal ini tetap menyisakan perih dan pilu di hati kami. Betapa, mereka sudah banyak yang tidak peduli dengan seruanMu. Kami juga mohon maaf, karana hanya bisa mengeluh di hadapan-Mu, tak bisa di depan mereka. Betapa kerdilnya jiwa kami.

Tapi kami masih bisa berharap, bahwa apa yang kami lakukan merupakan wujud peduli kami untuk berbuat yang terbaik. Meski kami yakin banyak sekali kekurangan. Ini juga menjadi catatan akhir ramadhan yang membuat kami harus bekerja lebih giat dan optimal dalam menyebarkan Islam.

Catatan akhir ramadhan yang kurang bagus ini, membuat kami tertantang untuk selalu mengalirkan darah segar untuk perjuangan yang suci ini. Kami mohon ampun kepadaMu, dan berikanlah kekuatan kepada kami untuk terus melaju melawan kedzaliman.

Kami masih terpuruk

Sejak awal ramadhan hingga menjelang akhir ramadhan ini, kami, kaum muslimin, masih terpuruk dan terperangkap dalam penderitaan. Saudara-saudara kami di Palestina mengawal ramadhan ini dengan tetap penuh ketakutan. Sahur dan buka mereka selalu diintai rasa cemas. Bahkan di dalam rumah miliknya pun rasa cemas dan takut itu terus menghantui.

Kami yang tinggal di negeri-negeri yang sedikit aman, mampu makan sahur dan berbuka dengan segala kenikmatan yang ada. Tapi, sau-dara-saudara kami di Palestina berbuka dengan puncratan darah setelah dipukuli begundal-begundal Yahudi di penjara-penjara yang pengap dan gelap.

Sebagian dari kami mungkin sudah kehilangan rasa solidaritas itu, habis dikikis gaya hidup hedonis yang mengakar kuat di negeri kami. Hingga kami tak mampu mendengar rintihan saudara kami di Palestina yang terluka. Bahkan luka itu terlalu dalam untuk mereka miliki.

Di akhir ramadhan ini, saudara kami di Uzbekistan, Kyrgistan, Chechnya, dan wilayah Asia Tengah lainnya merasakan hal yang sama. Jeritan mereka pun tak bisa kami dengar. Terhalangi batas wilayah nasionalisme yang dibuat untuk menelikung kami semua, kaum muslimin.

Sebagian dari kami sudah lupa dengan sabda NabiMu, bahwa kami bersaudara. Bahwa kami saling memiliki rasa dan harapan yang sama. Itu sebabnya, sebagian dari kami lebih memilih untuk tidak melibatkan diri dalam perjuangan, meski hanya menemaninya dengan doa. Betapa kami tak mampu berbuat banyak.

Di akhir ramadhan ini, isu terorisme tidak berhenti berhembus ditujukan kepada kami, kaum muslimin. Hinga membuat sebagian dari kami kewalahan dan akhirnya tidak tahan dengan predikat muslim yang selama ini disandangnya. Kesetiaan kepada Islam dari sebagian kami melepuh berganti alergi luar biasa. Islam ternyata membuat sebagian dari kami tidak merasa aman. Tapi sebaliknya membuat sebagian dari kami resah. Kami menyadari bahwa ini adalah bagian dari sebuah perang peradaban. Perang di mana kami harus lebih cantik lagi untuk melawan. Sekali lagi, barangkali karena kami kurang optimal melawan mereka. Akhirnya, kami tetep terpuruk.

Catatan akhir ramadhan di bidang sosial-ekonomi sangat memprihatinkan. Angka kriminalitas tak surut di bulan ramadhan ini. Setidaknya jika kami lihat di tayangan berita kriminal di hampir seluruh stasiun televisi. Tayangan berdarah-darah seolah sudah akrab di mata kami, hingga membuat tak risih lagi, bahkan menikmati kekerasan tersebut.

Hal yang umum menjelang akhir ramadhan adalah harga-harga sembako yang meroket tajam. Entah siapa yang menyulut, yang pasti ketika penjual melipatgandakan harga, pembeli tidak protes sedikit pun, bahkan dengan polos menyebut, “sudah biasa”.. Atau mungkin merasa tidak efektif untuk berteriak protes. Bisa jadi.

Sebagian dari kami menjelang akhir ramadhan ini lebih asyik di pusat-pusat perbelanjaan ketimbang i'tikaf di masjid-masjid. Sregep berburu untuk memilih baju lebaran dan beragam makanan, ketimbang menjaring lailatul qadar . Jalanan padat, masjid berubah jadi museum. Sepi. Ya, kami masih terpuruk di segala bidang.

Perjuangan kita belum selesai

Sobat muda muslim, selain kita mengukur apa yang telah kita lakukan di bulan pernah berkah, rahmat, dan ampunan ini, juga kita tumpahkan energi peduli kita untuk teman-teman yang masih tetap ‘istiqomah' dalam kemaksiatannya. Nggak jarang kita jumpai, saudara kita yang masih berprinsip “semau gue” dalam berbuat. Malah tetep maksiat meski di bulan suci dan mulia ini. Astaghfirullah.

Kepada mereka, sikap peduli layak kita berikan. Tentu ini sebagai tanda kasih kita kepada mereka. Sebagai tanda cinta kita kepada mereka. Sebab kita adalah saudara seakidah. Bedanya, kita sudah mulai ingin benar dalam hidup ini, teman-teman—yang karena keterbatasan ilmunya—masih betah maksiat.

Kita pantas cemas menyaksikan polah teman-teman yang menjalani puasa hanya sebatas menahan diri dari makan dan minum doang. Sementara, mereka tetep keukeuh pacaran, tetep membuka auratnya, tetep tidak mengontrol mata, telinga, dan hatinya dari perbuatan kotor dan nista. Kita khawatir banget, jangan-jangan, cuma mendapatkan rasa lapar dan haus dari puasanya itu. Rugi deh. Rasulullah saw. bersabda: “Betapa banyak orang yang berpuasa, tapi mereka tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya itu kecuali lapar dan dahaga” (HR Ahmad)

Saat ini, masyarakat kita sepertinya sederhana saja memandang kehidupan ini. Ringan aja menghadapi dinamikanya. Kita sedikit meragukan jika masyarakat ini masih menyimpan rasa peduli akan kebenaran. Sebab, buktinya banyak yang menyepelekan kebenaran. Individu memang banyak yang berbuat salah. Tapi yakinlah, ini akibat dari lingkungan tempat hidupnya. Sudahlah takwa individu carut marut, dan ini jumlahnya banyak, eh, masyarakat secara umum juga udah terbiasa dengan kemaksiatan yang berlangsung dalam kehidupannya. Bahkan celakanya ada yang sampe menganggap bahwa itu emang bagian dari kehidupan sekarang. Individu dan masyarakat yang udah jebol ini makin diperparah dengan kedodorannya negara dalam mengatur rakyat. Karuan aja, makin surem deh kehidupan ini.

Itu sebabnya, meskipun kita gembar-gembor mengkampanyekan untuk melakukan perbaikan individu. Tapi dalam waktu yang bersamaan nggak dibarengi dengan mengubah masyarakat, maka kemungkinan besar akan mengalami kegagalan. Sebab, masalah akan terus berputar di situ. Jadi, mari ubah individu, dengan melakukan perubahan terhadap masyarakat. Jadikan masyarakat ini sebagai masyarakat Islam. Masyarakat yang diatur dalam negara yang menerapkan syariat Islam.

Dengan begitu, kita tak perlu cemas, sedih, dan prihatin lagi menyaksikan kondisi kaum muslimin saat ini. Bukan hanya setiap habis Ramadhan, tetapi sepanjang waktu. Sebab, semuanya udah benar. Tinggal diarahkan aja. Sekarang? Kita harus membenarkan sekaligus mengarahkan. Relatif berat bukan?

Oke deh, moga-moga kita nggak cemas dan prihatin lagi setiap habis Ramadhan gara-gara mikirin kondisi umat ini. Tapi ya, selama kita hidup di bawah sistem kapitalisme seperti sekarang ini, kehidupan senantiasa diliputi rasa cemas, dalam seluruh aspek kehidupan, termasuk saat seperti ini, setiap habis Ramadhan. Cemas, kalo umat ini akan balik bejat lagi setelah Ramadhan berlalu. Ya, jangankan nanti, saat Ramadhan aja masih banyak yang memamerkan kesombongannya dengan nggak mau taat kepada aturan Allah dan RasulNya.

Semoga kita menjadi hamba-hamba Allah yang mendapat berkah, rahmat, dan ampunan. Dan senantiasa memohon kepada Allah agar kita digolongkan kepada orang-orang yang berjuang demi tegaknya syariat Islam di muka bumi ini. Sekali lagi kita ngingetin, mari ubah individu dengan melakukan perubahan terhadap masyarakat. Setuju kan? Harus Setuju! Keep ukhuwah en tetep semangat !


Lailatul Qadar - Malam seribu bulan

29 October, 2005
Assalamu'alaikum wr wb


"Carilah malam Lailatul Qadar di (malam ganjil) pada 10 hari terakhir bulan Ramadhan" (HR Bukhari 4/225 dan Muslim 1169)


Malam Lailatul Qadar

Keutamaannya sangat besar, karena malam ini menyaksikan turunnya Al-Qur'an Al-Karim, yang membimbing orang-orang yang berpegang dengannya ke jalan kemuliaan dan mengangkatnya ke derajat yang mulia dan abadi. Umat Islam yang mengikuti sunnah Rasulnya tidak memasang tanda-tanda tertentu dan tidak pula menancapkan anak-anak panah untuk memperingati malam ini, akan tetapi mereka berloma-lomba untuk bangun di malam harinya dengan penuh iman dan mengharap pahala dari Allah.

Inilah wahai saudaraku muslim, ayat-ayat Qur'aniyah dan hadits-hadits nabawiyah yang shahih menjelaskan tentang malam tersebut.


1. Keutamaan Malam Lailatul Qadar

Cukuplah untuk mengetahui tingginya kedudukan Lailatul Qadar dengan mengetahui bahwasanya malam itu lebih baik dari seribu bulan, Allah berfirman.

"Artinya : Sesungguhnya Kami menurunkan Al-Qur'an pada malam Lailatul Qadar, tahukah engkau apakah malam Lailatul Qadar itu ? Malam Lailatul Qadar itu lebih baik dari seribu bulan, pada malam itu turunlah melaikat-malaikat dan Jibril dengan izin Allah Tuhan mereka (untuk membawa) segala usrusan, selamatlah malam itu hingga terbit fajar" [Al-Qadar : 1-5]

Dan pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah.

"Artinya : Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan. Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah, (yaitu) urusan yang besar dari sisi Kami. Sesungguhnya Kami adalah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui" [Ad-Dukhan : 3-6]


2. Waktunya

Diriwayatkan dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa malam tersebut terjadi pada tanggal malam 21,23,25,27,29 dan akhir malam bulan Ramadhan.

Imam Syafi'i berkata : "Menurut pemahamanku. wallahu 'alam, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab sesuai yang ditanyakan, ketika ditanyakan kepada beliau : "Apakah kami mencarinya di malam ini?", beliau menjawab : "Carilah di malam tersebut" [Sebagaimana dinukil Al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah 6/386]

Pendapat yang paling kuat, terjadinya malam Lailatul Qadar itu pada malam terakhir bulan Ramadhan berdasarkan hadits Aisyah Radhiyallahu 'anha, dia berkata Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam beri'tikaf di sepuluh hari terkahir bulan Ramadhan dan beliau bersabda. "Artinya : Carilah malam Lailatul Qadar di (malam ganjil) pada 10 hari terakhir bulan Ramadhan" [Hadits Riwayat Bukhari 4/225 dan Muslim 1169]

Jika seseorang merasa lemah atau tidak mampu, janganlah sampai terluput dari tujuh hari terakhir, karena riwayat dari Ibnu Umar, (dia berkata) : Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda. "Artinya : Carilah di sepuluh hari terakhir, jika tidak mampu maka jangan sampai terluput tujuh hari sisanya" [Hadits Riwayat Bukhari 4/221 dan Muslim 1165] Ini menafsirkan sabdanya. "Artinya : Aku melihat mimpi kalian telah terjadi, barangsiapa yang mencarinya carilah pada tujuh hari terakhir" [Lihat Maraji' tadi]

Telah diketahui dalam sunnah, pemberitahuan ini ada karena perdebatan para sahabat. Dari Ubadah bin Shamit Radhiyallahu 'anhu, ia berkata : Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ke luar pada malam Lailatul Qadar, ada dua orang sahabat berdebat, beliau bersabda. "Artinya : Aku keluar untuk mengkhabarkan kepada kalian tentang malam Lailatul Qadar, tapi ada dua orang berdebat hingga tidak bisa lagi diketahui kapannya; mungkin ini lebih baik bagi kalian, carilah di malam 29. 27. 25 (dan dalam riwayat lain : tujuh, sembilan dan lima)" [Hadits Riwayat Bukhari 4/232]

Telah banyak hadits yang mengisyaratkan bahwa malam Lailatul Qadar itu pada sepuluh hari terakhir, yang lainnya menegaskan, di malam ganjil sepuluh hari terakhir. Hadits yang pertama sifatnya umum sedang hadits kedua adalah khusus, maka riwayat yang khusus lebih diutamakan dari pada yang umum, dan telah banyak hadits yang lebih menerangkan bahwa malam Lailatul Qadar itu ada pada tujuh hari terakhir bulan Ramadhan, tetapi ini dibatasi kalau tidak mampu dan lemah, tidak ada masalah, dengan ini cocoklah hadits-hadits tersebut tidak saling bertentangan, bahkan bersatu tidak terpisah.

Kesimpulannya

Jika seorang muslim mencari malam lailatul Qadar carilah pada malam ganjil sepuluh hari terakhir : 21, 23,25,27 dan 29. Kalau lemah dan tidak mampu mencari pada sepuluh hari terakhir, maka carilah pada malam ganjil tujuh hari terakhir yaitu 25,27 dan 29. Wallahu 'alam


3. Bagaimana Mencari Malam Lailatul Qadar.?

Sesungguhnya malam yang diberkahi ini, barangsiapa yang diharamkan untuk mendapatkannya, maka sungguh telah diharamkan seluruh kebaikan (baginya). Dan tidaklah diharamkan kebaikan itu, melainkan (bagi) orang yang diharamkan (untuk mendapatkannya). Oleh karena itu dianjurkan bagi muslimin (agar) bersemangat dalam berbuat ketaatan kepada Allah untuk menghidupkan malam Lailatul Qadar dengan penuh keimanan dan mengharapkan pahala-Nya yang besar, jika (telah) berbuat demikian (maka) akan diampuni Allah dosa-dosanya yang telah lalu.

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda. "Artinya : Barang siapa berdiri (shalat) pada malam Lailatul Qadar dengan penuh keimanan dan mengharap pahala dari Allah, maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu" [Hadits Riwayat Bukhari 4/217 dan Muslim 759]

Disunnahkan untuk memperbanyak do'a pada malam tersebut. Telah diriwayatkan dari Sayyidah Aisyah Radhiyallahu 'anha, (dia) berkata : "Aku bertanya, "Ya Rasulullah ! Apa pendapatmu jika aku tahu kapan malam Lailatul Qadar (terjadi), apa yang harus aku ucapkan ?" Beliau menjawab, "Ucapkanlah :

"Allahumma innaka 'afuwwun tuhibbul afwa fa'fu'annii"

"Ya Allah Engkau Maha Pengampun dan mencintai orang yang meminta ampunan, maka ampunilah aku"

Saudaraku -semoga Allah memberkahimu dan memberi taufiq kepadamu untuk mentaati-Nya- engkau telah mengetahui bagaimana keadaan malam Lailatul Qadar (dan keutamaannya) maka bangunlah (untuk menegakkan shalat) pada sepuluh malam terakhir, menghidupkannya dengan ibadah dan menjauhi wanita, perintahkan kepada isterimu dan keluargamu untuk itu, perbanyaklah perbuatan ketaatan.

Dari Aisyah Radhiyallahu 'anha. "Artinya : Adalah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, apabila masuk pada sepuluh hari (terakhir bulan Ramadhan), beliau mengencanngkan kainnya[3] menghidupkan malamnya dan membangunkan keluarganya" [Hadits Riwayat Bukhari 4/233 dan Muslim 1174]

Juga dari Aisyah, (dia berkata) : "Artinya : Adalah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersungguh-sungguh (beribadah apabila telah masuk) malam kesepuluh (terakhir) yang tidak pernah beliau lakukan pada malam-malam lainnya" [Hadits Riwayat Muslim 1174]


4. Tanda-Tandanya
Ketahuilah hamba yang taat -mudah-mudahan Allah menguatkanmu degan ruh dari-Nya dan membantu dengan pertolongan-Nya- sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menggambarkan paginya malam Lailatul Qadar agar seorang muslim mengetahuinya.

Dari 'Ubay Radhiyallahu 'anhu, ia berkata : Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda. "Artinya : Pagi hari malam Lailatul Qadar, matahari terbit tidak menyilaukan, seperti bejana hingga meninggi" [Hadits Riwayat Muslim 762]

Dari Abu Hurairah, ia berkata : Kami menyebutkan malam Lailatul Qadar di sisi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam beliau bersabda. "Artinya : Siapa di antara kalian yang ingat ketika terbit bulan seperti syiqi jafnah"

Dan dari Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhuma, ia berkata : Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda. "Artinya : (Malam) Lailatul Qadar adalah malam yang indah, cerah, tidak panas dan tidak juga dingin, (dan) keesokan harinya cahaya sinar mataharinya melemah kemerah-merahan" [Tahayalisi 349, Ibnu Khuzaimah 3/231, Bazzar 1/486, sanadnya Hasan]


*Disalin dari Kitab Sifat Shaum Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam Fii Ramadhan, edisi Indonesia Sifat Puasa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam oleh Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaaly, Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid, terbitan Pustaka Al-Haura, penerjemah Abdurrahman Mubarak Ata.

Wassalamu'alaikum wr wb

ORASI "Hitam Putih Dunia Remaja" by RISMATA & TransTV

21 October, 2005



Berburuk sangka Kepada Sesama Muslim

17 October, 2005

Assalamu'alaikum wr wb

Allah Ta’ala berfirman.

“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan berprasangka, karena sesungguhnya sebagian tindakan berprasangka adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain” [Al-Hujurat : 12]

Dalam ayat ini terkandung perintah untuk menjauhi kebanyakan berprasangka, karena sebagian tindakan berprasangka ada yang merupakan perbuatan dosa. Dalam ayat ini juga terdapat larangan berbuat tajassus ialah mencari-cari kesalahan-kesalahan atau kejelekan-kejelekan orang lain, yang biasanya merupakan efek dari prasangka yang buruk.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Berhati-hatilah kalian dari tindakan berprasangka buruk, karena prasangka buruk adalah seduta-dusta ucapan. Janganlah kalian saling mencari berita kejelekan orang lain, saling memata-matai, saling mendengki, saling membelakangi, dan saling membenci. Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari hadits no. 6064 dan Muslim hadits no. 2563].

Amirul Mukminin Umar bin Khathab berkata, “Janganlah engkau berprasangka terhadap perkataan yang keluar dari saudaramu yang mukmin kecuali dengan persangkaan yang baik. Dan hendaknya engkau selalu membawa perkataannya itu kepada prasangka-prasangka yang baik”

Ibnu Katsir menyebutkan perkataan Umar di atas ketika menafsirkan sebuah ayat dalam surat Al-Hujurat.

Bakar bin Abdullah Al-Muzani yang biografinya bisa kita dapatkan dalam kitab Tahdzib At-Tahdzib berkata : “Hati-hatilah kalian terhadap perkataan yang sekalipun benar kalian tidak diberi pahala, namun apabila kalian salah kalian berdosa. Perkataan tersebut adalah berprasangka buruk terhadap saudaramu”.

Disebutkan dalam kitab Al-Hilyah karya Abu Nu’aim (II/285) bahwa Abu Qilabah Abdullah bin Yazid Al-Jurmi berkata : “Apabila ada berita tentang tindakan saudaramu yang tidak kamu sukai, maka berusaha keraslah mancarikan alasan untuknya. Apabila kamu tidak mendapatkan alasan untuknya, maka katakanlah kepada dirimu sendiri, “Saya kira saudaraku itu mempunyai alasan yang tepat sehingga melakukan perbuatan tersebut”.

Sufyan bin Husain berkata, “Aku pernah menyebutkan kejelekan seseorang di hadapan Iyas bin Mu’awiyyah. Beliaupun memandangi wajahku seraya berkata, “Apakah kamu pernah ikut memerangi bangsa Romawi?” Aku menjawab, “Tidak”. Beliau bertanya lagi, “Kalau memerangi bangsa Sind, Hind (India) atau Turki?” Aku juga menjawab, “Tidak”. Beliau berkata, “Apakah layak, bangsa Romawi, Sind, Hind dan Turki selamat dari kejelekanmu sementara saudaramu yang muslim tidak selamat dari kejelekanmu?” Setelah kejadian itu, aku tidak pernah mengulangi lagi berbuat seperti itu” [Lihat Kitab Bidayah wa Nihayah karya Ibnu Katsir (XIII/121)]

Komentar saya : “Alangkah baiknya jawaban dari Iyas bin Mu’awiyah yang terkenal cerdas itu. Dan jawaban di atas salah satu contoh dari kecerdasan beliau”.

Abu Hatim bin Hibban Al-Busti bekata dalam kitab Raudhah Al-‘Uqala (hal.131), ”Orang yang berakal wajib mencari keselamatan untuk dirinya dengan meninggalkan perbuatan tajassus dan senantiasa sibuk memikirkan kejelekan dirinya sendiri. Sesungguhnya orang yang sibuk memikirkan kejelekan dirinya sendiri dan melupakan kejelekan orang lain, maka hatinya akan tenteram dan tidak akan merasa capai. Setiap kali dia melihat kejelekan yang ada pada dirinya, maka dia akan merasa hina tatkala melihat kejelekan yang serupa ada pada saudaranya. Sementara orang yang senantiasa sibuk memperhatikan kejelekan orang lain dan melupakan kejelekannya sendiri, maka hatinya akan buta, badannya akan merasa letih dan akan sulit baginya meninggalkan kejelekan dirinya”.

Beliau juga berkata pada hal.133, “Tajassus adalah cabang dari kemunafikan, sebagaimana sebaliknya prasangka yang baik merupakan cabang dari keimanan. Orang yang berakal akan berprasangka baik kepada saudaranya, dan tidak mau membuatnya sedih dan berduka. Sedangkan orang yang bodoh akan selalu berprasangka buruk kepada saudaranya dan tidak segan-segan berbuat jahat dan membuatnya menderita”.

[Disalin dari buku Rifqon Ahlassunnah Bi Ahlissunnah Menyikapi Fenomena Tahdzir dan Hajr, Penulis Syaikh Abdul Muhsin bin Hamd Al’Abbad Al-Badr hal 17-21, Terbitan Titian Hidayah Ilahi]

Do'a Berbuka Puasa

08 October, 2005
Assalaamu alaykum wa RahmatuLlahi wa Barakatuh.

Dalam masyarakat kita ada sebuah kebiasaan mengucapkan do'a berbuka puasa berdasarkan sebuah hadith:

"Dari Anas, ia berkata: Adalah Nabi salallahu 'alaihi wa sallam, apabila berbuka beliau mengucapkan: Bismillah, Allahumma Laka Shumtu Wa Alla Rizqika Aftartu (artinya: Dengan nama Allah, Ya Allah karena-Mu aku berbuka puasa dan atas rizqi dari-Mu aku berbuka). [Riwayat: Thabrani di kitabnya Mu'jam Shogir hal 189 dan Mu'jam Auwshath]

Namun, sanad hadits ini adalah lemah/dlo'if. Mengapa ? Alasannya adalah sebagai berikut:

PERTAMA:
Di sanad hadist ini ada Ismail bin Amr Al-Bajaly. Dia seorang perawi yang lemah.

- Imam Dzahabi mengatakan di kitabnya Adl-Dhu'afa : Bukan hanya satu orang saja yang telah melemahkannya.
- Kata Imam Ibnu 'Ady: Ia menceritakan hadits-hadits yang tidak boleh dituruti.
- Kata Imam Abu Hatim dan Daruquthni: Lemah!
- Sepengetahuan saya (Abdul Hakim bin Amir Abdat): Dia inilah yang meriwayatkan hadits lemah bahwa imam tidak boleh adzan. [ref: lihat Mizanul I'tidal 1/239]

KEDUA:
Di sanad ini juga ada Dawud bin Az-Zibriqaan.

- Kata Muhammad Nashiruddin Al-Albani: Dia ini lebih jelek dari Ismail bin Amr Al-Bajaly.
- Kata Imam Abu Dawud, Abu Zur'ah dan Ibnu Hajar: Matruk.
- Kata Imam Ibnu 'Ady: Umumnya apa yang ia riwayatkan tidak boleh diturut. [ref: lihat Mizanul I'tidal 2/7]
- Sepengetahuan saya (Abdul Hakim bin Amir Abdat): Al-Ustadz Abdul Qadir Hassan membawakan riwayat Thabrani ini di Risalah Puasa tapi beliau diam tentang derajad hadits ini.

Yang menjadi pertanyaannya adalah walaupun berdasarkan ilmu hadits bahwa hadits di atas dan beberapa hadits yang relevan tentang do'a berbuka puasa-- telah di-dlo'if-kan, apakah itu bermakna kita tidak boleh beramal dengan do'a itu? Sehingga apakah dalam berdo'a itu kita harus mengamalkan do'a yang shahih dari RasuluLlah salallahu 'alaihi wa sallam ataukah bebas berdo'a asalkan tidak melanggar etika berdo'a?

TANGGAPAN :

Menurut Sheikh Abdul Karim Al-Khudayr, do'a di luar sholat boleh dibaca dengan bahasa apa saja. Menurut beliau lagi walaupun lebih afdal dibaca do'a-do'a ini dalam bahasa Arab karena ia masih termasuk ruang lingkup ibadat.

Sedangkan menurut Sheikh Al-Islam Ibn Taimiyah:

"Do'a dibolehkan dalam bahasa Arab dan bukan bahasa Arab. Allah mengetahui apa yang tersirat di dalam do'a permintaannya. Terserah bahasa apa yang diucapkannya, kerana sesungguhnya Dia mendengar semua suara dari berbagai bahasa, memohon berbagai jenis hajat..."[Ref: Majmu' al-Fataawa, 22/488-489]

Mengenai persoalan, apakah boleh berdo'a dengan do'a-do'a yang bukan dari al-Quran atau sunnah Nabi saw, jumhur ulama membenarkannya, asalkan ia tidak lari dari batas-batas dan adab-adab do'a yang dibenarkan. Dari segi derajat do'a sudah tentu yang paling afdal diambil dari al-Quran dan juga dari Hadith Nabi saw. Bahkan membacanya saja sudah mendapat pahala.

Menurut Sheikh Al-Islam Ibn Taimiyah lagi:

"Manusia hendaklah berdo'a dengan do'a-do'a yang dibenarkan dalam syariat yaitu yang datang dari Al-Quran dan Sunnah! Karena sesungguhnya didalamnya tidak ada keraguan mengenai fadilat dan kebaikannya, dan sesungguhnya ia adalah jalan yang lurus. Ulama Islam dan Imam-Imam agama telah menyatakan do'a-do'a ini yang ada didalam syariah, dan berpaling dari do'a-do'a yang direka-reka (bid'ah), maka hendaklah kita mengikuti mereka didalam perkara itu." [Ref: Majmu' al-Fataawa, 1/346,348]

Sehingga, di sini ulama'-ulama' mengalakkan kita menggunakan do'a-do'a yang ada didalam Al-Quran dan juga hadith Nabi saw oleh karena ianya mempunyai fadilat dan kebaikan yang terkandung didalamnya. Seseorang itu tidak mungkin salah dan ragu jika dia menggunakan do'a-do'a yang warid ini, jika hendak dibandingkan dengan do'a-do'a yang disusun sendiri yang tidak mungkin bebas dari kesalahannya. Ini sebagai langkah berjaga-jaga dan juga cara mendapatkan fadilat dari Allah swt. Nanum demikian, do'a yang bebas dari unsur-unsur yang dilarang adalah dibenarkan membacanya.

Sedangkan, waktu berbuka merupakan salah satu daripada saat-saat do'a itu dikabulkan oleh Allah swt.

Sheikh Al-Islam menyatakan:

"Do'a akan dijawab sewaktu hujan turun, tatkala berada di medan pertempuran, ketika azan dan iqamah, di dalam Solat, ketika sujud, do'a orang yang berpuasa, do'a orang musafir, do'a orang yang dizalimi, dan sebagainya. Kesemua ini telah datang dari hadith-hadith yang ma'ruf didalam kitab Sahih dan Sunan." [Ref: Majmu’ al-Fataawa, 27/129-130]

Do'a dan puasa merupakan ibadat, dan sudah tentu bacaan-bacaan yang diketahui benar datang dari Nabi saw menjadi keutamaannya untuk diamalkan. Sudah tentu pula dibulan yang penuh berkat ini, umat Islam ingin mencapai semaksimal mungkin derajat ibadatnya kepada Allah swt. Sehingga ini termasuklah membaca do'a berbuka puasa yang terbaik yang dapat dikaitkan dengan Nabi saw seperti do'a dibawah ini:

"Umar berkata: Nabi Rasulullah saw ketika berbuka puasa berkata: Zahabaz Zama'u wabtallatil 'uruuqu wathabatal Ajru Insyaallah."

Artinya:

"Telah hilang dahaga dan telah basah urat-urat dan telah tetap pahala insya Allah." [Hadith diriwayatkan oleh Abu Daud #2357, Al-Daaraquthni #25, Ibn Hajar dalam al-Talhis al-Habiir (2/202)] Al-Daaraquthni mengatakan bahawa hadith ini isnadnya Sahih.

Sedangkan, do'a yang biasanya disebutkan,

"Ya Allah, aku telah berpuasa, dan atas rezekimu aku berbuka." [Hadith riwayat Abu Daud #2358, adalah mursal hadith maka ia bertaraf dlaif. Al-Albani telah mengkategorikan hadith ini Dlaif dalam Dlaif Abi Daud]

Karena do'a dalam hadits ini (yang kedua) adalah dlaif (lemah), maka lebih afdal kita mengambil do'a alternatif yang lebih baik isnadnya yang dapat kita munafaatkan dalam amalan sunat membaca do'a ketika berbuka puasa.

KESIMPULAN:

Tidaklah menjadi satu kesalahan membaca do'a-do'a yang tidak bertentangan dengan syariat yang tidak terdapat di dalam Al-Quran dan Hadith. Sebagai contohnya selepas sholat, kita boleh berdo'a kepada Allah SWT memohon apa saja yang kita kehendaki asalkan ianya tidak lari dari batas yang dibenarkan oleh syara'.

Tetapi, walau bagaimanapun, do'a-do'a (selain dari sholat) yang ingin dibaca dalam ibadah seperti puasa, haji hendaklah mengambilnya dari do'a-do'a yang ma'ruf dari Al-Quran atau Hadith Nabi salallahu 'alaihi wa sallam, dimana terdapat fadilat dan kebaikan yang terkandung didalamnya.

ALlahu a'lam bish-shawab.
Wassalaamu alaykum wa RahmatuLlahi wa Barakatuh.


Rujukan :
1. Mohammad bin Abdul Rahman Qasim. Majmu' Fatawa Shiekh Al-Islam Ibnu Taimiyah - 1, 22, 27. Mekah : Percetakan Al-Hukumah, 1969.
2. Al-Hafiz Imam Nawawi. Al-Azkar. Beirut : Dar Al-Ma'rifah, [????] halaman 172.

Tentang Rakaat Shalat Tarawih

05 October, 2005

Assalamu `alaikum Warahmatullahi Wabaraktuh Alhamdulillah, Washshalatu wassalamu `ala Rasulillah, wa ba`d.

Pangkal perbedaan awal dalam masalah jumlah rakaat shalat ini adalah pada sebuah pertanyaan mendasar. Yaitu apakah shalat tarawih itu sama dengan shalat malam atau keduanya adalah jenis shalat sendiri-sendiri.

Mereka yang menganggap keduanya adalah sama, biasanya akan mengatakan bahwa jumlah bilangan shalat tawarih itu sekitar 11 rakaat dengan masing-masing variannya. Dalam wacana mereka, di malam-malam Ramadhan, namanya menjadi tarawih dan di luar malam-malam Ramadhan namanya menjadi shalat lail/qiyamullail.

Dari Aisyah ra bahwa Rasulullah SAW tidak pernah menambah di dalam ramadhan dan di luar Ramadhan dari 11 rakaat. (HR. Al-Bukhari)

Sedangkan mereka yang membedakan antara keduanya, akan cenderung mengatakan bahwa shalat tarawih itu 20 rakaat atau 23 rakaat. Sebab 11 rakaat itu adalah jumlah bilangan rakaat shalat malamnya Rasulullah SAW. Bukan jumlah bilangan rakaat tarawihnya.

Sebenarnya tak satupun hadits shahih yang menyebutkan berapa rakaat shalat beliau. Bahkan para ahli hadits mengatakan bahwa semua riwayat hadits yang menyatakan tentang jumlah bilangan rakaat shalat tarawihnya Rasulullah SAW adalah hadits yang sangat lemah. Bahkan munkar, matruk dan maudhu`. Teks hadis ini adalah dari Ibn Abbas, ia berkata:

"Nabi SAW melakukan shalat pada bulan Ramadhan dua puluh rakaat dan witir".

1. Hadis ini diriwayatkan Imam al-Thabrani dalam kitabnya al-Mu`jam al-Kabir. Dalam sanadnya terdapat rawi yang bernama Abu Syaibah Ibrahim bin Utsman yang menurut Imam al-Tirmidzi, hadis-hadisnya adalah munkar.

2. Imam al-Nasa`i mengatakan hadis-hadis Abu Syaibah adalah matruk.

3. Imam Syu`bah mengatakan Ibrahim bin Utsman adalah pendusta. Oleh karenanya hadis shalat tarawih dua puluh rakaat ini nilainya maudhu (palsu) atau minimal matruk (semi palsu).

Dan sebaliknya, hadits-hadits yang menyatakan bahwa jumlaah rakaat tarawih Rasulullah SAW itu jumlahnya delapan pun tidak kurang derajatnya dari yang 20 rakaat.

"Rasulullah SAW melakukan shalat pada bulan Ramadhan sebanyak delapan rakaat dan witir".

1. Hadis ini diriwayatkan Ja`far bin Humaid sebagaimana dikutip kembali lengkap dengan sanadnya oleh al-Dzahabi dalam kitabnya Mizan al-I`tidal dan Imam Ibn Hibban dalam kitabnya Shahih Ibn Hibban dari Jabir bin Abdullah. Dalam sanadnya terdapat rawi yang bernama ´Isa bin Jariyah yang menurut Imam Ibnu Ma`in, adalah munkar al-Hadis (Hadis-hadisnya munkar).

2. Sedangkan menurut Imam al-Nasa´i, `Isa bin Jariyah adalah matruk (pendusta). Karenanya, hadis shalat tarawih delapan rakaat adalah hadis matruk (semi palsu) lantaran rawinya pendusta.

Jadi bila disandarkan pada kedua hadits di atas, keduanya bukan dalil yang kuat untuk rakaat 8 atau 20 dalam tarawih.

Di dalam kitab-kitab fiqih, rata-rata para ulama menyebutkan bahwa shalat tarawih yang dilakukan umat Islam di masa Umar memang 23 rakaat. Banyak diantara mereka yang menyebutkan bahwa para shahabat sepeninggal Rasulullah SAW tidak mungkin bersepakat untuk menciptakan sendiri jumlah bilangan rakaat tarawih, kecuali mereka ittiba` terhadap apa yang pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW saat masih hidup dahulu.

Dan hal itu dilakukan bukan hanya oleh Umar seorang, melainkan oleh seluruh shahabat Rasulullah SAW di Madinah. Sehingga kedudukannya adalah ijma` shahabat. Telah sekian tahun mereka tidak pernah melakukan shalat tarawih berjamaah di masjid, yaitu semenjak Rasulullah SAW pernah melakukannya pertama kali yang hanya 2 atau 3 kali saja. Setelah itu beliau SAW tidak melakukannya lagi hingga akhir hayat.

Para ulama sepakat bahwa sebabnya adalah kekhawatiran beliau SAW bila shalat tarawih itu diwajibkan. Namun ketika beliau SAW telah wafat dan wahyu dari langit sudah berhenti, shalat tarawih dihidupkan kembali oleh para shahabat di Madinah, yaitu di masa pemerintahan khalifah Umar bin Al-Khattab. Jumlah rakaatnya jelas sekali dan disepakati oleh semua shahabat yaitu 20 rakaat. Dan seluruh shahabat Rasulullah SAW melakukannya bersama-sama di masa itu di masjid. Bahkan Umar ra sempat berkomentar, "Senikmat-nikmat bid`ah adalah ini".

Namun ada juga yang mengatakan bahwa shalat tarawih di masa Umar bin Al-Khattab itu dilakukan sebanyak delapan rakaat. Di antaranya adalah Imam Malik, sehingga mazhab maliki khususnya memang memilih untuk shalat tarawih 8 rakaat. Dasarnya adalah hadits berikut ini yang terdapat dalam Al-Muwaththo`.

Dari Malik, dari Muhammad bin Yusuf, dari Saib bin Yazid; ia berkata: "Umar bin Al-Khottob telah memerintahkan Ubay bin Ka`ab dan Tamim Ad-Dariy supaya keduanya mengimami orang-orang dengan melaksanakan sholat 11 raka`at".

Dengan demikian shalat malam termasuk tarawih dapat didirikan dengan dua rakaat dan ditutup dengan satu rakaat atau tiga rakaat dua kali salam atau empat rakaat empat rakaat dan ditutup dengan tiga rakaat. (syariahonline.com)

Hadaanallahu Wa Iyyakum Ajma`in, Wallahu A`lam Bish-shawab, Wassalamu `Alaikum Warahmatullahi Wa Barakatuh.